Pemerintahan orde baru di bawah kendali Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer Pada tingkat bupati dan walikota, 56 persen adalah militer, direktur jenderal 70 persen, dan sekretaris menteri 84 persen diduduki oleh militer. Sementara itu data yang lebih lengkap di ungkapkan oleh Jenkins pada tahun 1977 dan 1980 terkait dengan dominasi militer yang bertugas diluar Hankam.
Penetrasi dan penguasaan militer atas birokrasi pada masa orde baru dapat dilihat pula dalam penelitiannya MacDougall tahun 1982 menggambarkan bahwa presentase pejabat militer lebih dominan dibanding sipil dalam jajaran birokrasi pusat tertinggi dengan menganatomi personalia tertinggi seluruh departemen yang ada dari mulai Menteri Koordinasi (Menko) sampai dengan Direktur Jenderal (Dirjen), MacDougall juga menemukan fakta bahwa pada departemen-departemen strategis jumlah militer sangat dominan dibandingkan sipil. Penelitian MacDougall 4 tahun kemudian (1986), setelah kabinet berganti ditahun 1983, memperlihatkan tidak terjadi perubahan signifikan perimbangan militer-sipil didalam birokrasi pusat tertinggi. Militer mengisi 64 persen jabatan pembantu dekat Presiden, 38 persen Menteri, 67 persen Sekretaris Jenderal, 67 persen Inspektur Jenderal, dan 20 persen Direktur Jenderal.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar, kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan orde baru. Hubungan Golkar-militer cukup dimanis, dimulai dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar.Ketua Sekber Golkar di Dati I pada umumnya dijabat purnawirawan ABRI dan banyak pula yang masih aktif. Ketua Sekber Dati II hampir semuanya dijabat anggota ABRI aktif. Pada Munas 1 Golkar di surabaya, 4-9 September 1973, ABRI menempatkan perwira aktif kedalam struktur DPP dan hampir seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Pada Munas II Golkar, militer memperkuat dominasinya dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Harian yang diketuai oleh Jenderal M. Panggabean. Pada munas II ini dipilihnysa Soeharto sebagai ketua Dewan Pembina yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pengurus DPP. Pada Munas III komposisi DPP Golkar untuk pertama kalinya didominasi kalangan sipil, hampir tidak ada kalangan militer aktif yang duduk dalam jajaran kepengurusan. Kondisi ini menimbulkan multi tafsir ada yang melihat pada kenyataannya, para pemimpin muda Golkar yang berasal dari kalangan sipil hanya dimanfaatkan oleh para tokoh tua untuk melaksanakan keputusan-keputusannya.
Ada yang melihat bahwa hilangnya perwira aktif dalam jajaran kepengurusan Golkar merupakan upaya ABRI untuk mulai ”menyapih” Golkar. Pada Pemilu 1992 militer kembali dipimpin tokoh militer (Wahono), akan tetapi pada pemilu ini banyak purnawirawan ABRI yang menyebrang ke PDI. Dominasi militer mulai memudar pada Munaslub Oktober 1998 dimana Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua umum mengalahkan Eddy Sudrajat. Hubungan ABRI dengan Golkar terputus dengan dikeluarkannya 17 butir langkah-langkah perubahan dasar ABRI pada tahun 1999. pada poin ke -11 ditegaskan bahwa dilakukan pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada.
Ada dua hal yang menarik dalam dominasi perpolitikan di Indonesia pada masa orde baru. Pertama, adanya tren penurunan dominasi militer tiap repelita. Anggota ABRI yang menduduki jabatan Gubernur misalnya; pada Pelita I sebesar 73 persen, pada Pelita II sebesar 76,9 persen, pada Pelita III sebesar 59,2 persen, pada pelita IV sebesar 51,8 persen, pada pelita V hanya tinggal 44,4 persen. Tren yang sama terjadi pada komposisi anggota Kebinet Pembangunan. jika dalam tiga Pelita pertama, rata-rata 31,2 persen anggota kabinet adalah ABRI aktif, maka dalam tiga Pelita terakhir rata-rata hanya 9,6 persen anggota kabinetnya yang berasal dari ABRI aktif. Tren ini dapat ditemukan pula dalam komposisi sipil-militer pejabat asisten menteri, duta besar, bupati dan jabatan-jabatan ekesekutif lainnya
SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan
Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis.
Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan, yaitu :
Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi
b. Kependudukan
c. Sumber kekayaan alam
Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial Budaya
e. Ketahanan keamanan
IDEOLOGI NEGARA LAIN
a. Liberalisme(Individualisme)
Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak semua orang (individu) dalam masyarakat (kontraksosial). Liberalisme bertitik tolak dari hak asasi yang melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk penguasa terkecuali atas persetujuan dari yang bersangkutan. Paham liberalisme mempunyai nilai-nilai dasar (intrinsik) yaitu kebebasan kepentingan pribadi yang menuntut kebebasan individu secara mutlak. Tokoh: Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, Herbert Spencer, Harold J. Laski
b. Komunisme(ClassTheory)
Negara adalah susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain.Golongan borjuis menindas golongan proletar (buruh), oleh karena itu kaum buruh dianjurkan mengadakan revolusi politik untuk merebut kekuasaan negara dari kaum kapitalis & borjuis, dalam upaya merebut kekuasaan / mempertahankannya, komunisme,akan:
1. Menciptakan situasi konflik untuk mengadu golongan-golongan tertentu serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
2. Atheis, agama adalah racun bagi kehidupan masyarakat.
3. Mengkomuniskan dunia, masyarakat tanpa nasionalisme.
4. Menginginkan masyarakat tanpa kelas, hidup aman, tanpa pertentangan, perombakan masyarakat dengan revolusi.
c. PahamAgama
Negara membina kehidupan keagamaan umat dan bersifat spiritual religius. Bersumber pada falsafah keagamaan dalam kitab suci agama. Negara melaksanakan hukum agama dalam kehidupan dunia.
sumber :
http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/
http://hamzahzakaria.wordpress.com/2012/04/22/ketahanan-nasional-indonesia/
Penetrasi dan penguasaan militer atas birokrasi pada masa orde baru dapat dilihat pula dalam penelitiannya MacDougall tahun 1982 menggambarkan bahwa presentase pejabat militer lebih dominan dibanding sipil dalam jajaran birokrasi pusat tertinggi dengan menganatomi personalia tertinggi seluruh departemen yang ada dari mulai Menteri Koordinasi (Menko) sampai dengan Direktur Jenderal (Dirjen), MacDougall juga menemukan fakta bahwa pada departemen-departemen strategis jumlah militer sangat dominan dibandingkan sipil. Penelitian MacDougall 4 tahun kemudian (1986), setelah kabinet berganti ditahun 1983, memperlihatkan tidak terjadi perubahan signifikan perimbangan militer-sipil didalam birokrasi pusat tertinggi. Militer mengisi 64 persen jabatan pembantu dekat Presiden, 38 persen Menteri, 67 persen Sekretaris Jenderal, 67 persen Inspektur Jenderal, dan 20 persen Direktur Jenderal.
ABRI juga berada di lembaga legislatif sampai dengan tahun 2004 melalui mekanisme pengangkatan. Para perwira membentuk fraksi ABRI di MPR, DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II, menjalankan fungsi penting seperti menempatkan aspek keamanan dan pertahanan dalam setiap perdebatan UU, memperjuangkan kebijakan sosial-politik yang berasal dari Panglima ABRI. Seringkali kantor anggota Fraksi ABRI di sebuah wilayah konstituensi menjadi pusat penyelesaian sejumlah persoalan lokal yang tidak bisa dilakukan melalui badan legislatif setempat. Keberadaan fraksi ABRI dimulai pada dekade 1965-1969 atau zaman DPR-GR sebanyak 43 orang, dekade 1970-1979 ABRI memiliki wakil diDPR/MPR sebanyak 75 orang. Dekade 1980-1989 jumlahnya meningkat menjadi 100 orang
Dekade 1990-1998 jumlahnya turun kembali menjadi 75 orang. Pada 1 februari 1999 disahkannya UU No.4 tahun 1999 mengurangi perwakilan militer dari 75 kursi menjadi 35 kursi baik di DPR ataupun MPR serta membatasi keberadaan ABRI 10 persen di DPRD I dan II. Melalui sidang MPR Oktober 1999 Keberadaan anggota F-ABRI dihapuskan di DPR dan hanya ada di MPR sebanyak 38 wakil sampai dengan tahun 2004. Berakhirnya keberadaan ABRI di MPR dengan disahkannya UU No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Sejak pemilu 1971, ABRI juga memiliki perwakilan ditingkat DPRD I atau II dengan jumlah yang variatif.
Ada yang melihat bahwa hilangnya perwira aktif dalam jajaran kepengurusan Golkar merupakan upaya ABRI untuk mulai ”menyapih” Golkar. Pada Pemilu 1992 militer kembali dipimpin tokoh militer (Wahono), akan tetapi pada pemilu ini banyak purnawirawan ABRI yang menyebrang ke PDI. Dominasi militer mulai memudar pada Munaslub Oktober 1998 dimana Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua umum mengalahkan Eddy Sudrajat. Hubungan ABRI dengan Golkar terputus dengan dikeluarkannya 17 butir langkah-langkah perubahan dasar ABRI pada tahun 1999. pada poin ke -11 ditegaskan bahwa dilakukan pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada.
Ada dua hal yang menarik dalam dominasi perpolitikan di Indonesia pada masa orde baru. Pertama, adanya tren penurunan dominasi militer tiap repelita. Anggota ABRI yang menduduki jabatan Gubernur misalnya; pada Pelita I sebesar 73 persen, pada Pelita II sebesar 76,9 persen, pada Pelita III sebesar 59,2 persen, pada pelita IV sebesar 51,8 persen, pada pelita V hanya tinggal 44,4 persen. Tren yang sama terjadi pada komposisi anggota Kebinet Pembangunan. jika dalam tiga Pelita pertama, rata-rata 31,2 persen anggota kabinet adalah ABRI aktif, maka dalam tiga Pelita terakhir rata-rata hanya 9,6 persen anggota kabinetnya yang berasal dari ABRI aktif. Tren ini dapat ditemukan pula dalam komposisi sipil-militer pejabat asisten menteri, duta besar, bupati dan jabatan-jabatan ekesekutif lainnya
Kecendurungan ini memperlihatkan 2 (dua) hal; pertama, Eep Saefullah Fatah melihatnya sebagai sebuah skenario dari Soeharto dan ABRI yang menjelmakan diri menjadi kekuatan prodemokrasi dan penghela perubahan politik dengan mengurangi porsi militer dalam kedudukan politik. ABRI yang semakin dewasa terlihat pula pada sikap menjaga jarak dari semua partai pada pemilu 1992. Keterlibatan ABRI dalam kasus pelanggaran pemilu hanya 4,6 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan birokrasi pemerintahan 29 persen dan badan-badan penyelenggara pemilu 60,6 persen. Pendapat ini bisa dipahami dengan melihat pandangan Eric A Nordlinger terkait tingkat campur tangan militer dalam sebuah negara. Keterlibatan militer dalam banyak negara kondisinya mayoritas hanya sebatas ” Moderator Pretorian ” atau ” Pengawal Pretorian ” jarang yang menjadi ” Penguasa Pretorian” . Pada jenis ” Moderator Pretorian”, militer menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. ”Pengawal Pretorian”, militer menggulingkan sebuah pemerintahan sipil, umumnya mereka sendiri yang akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode tertentu. Pada posisi ini militer mempertahakan status quo sebagai keadaan terwujud sebelum kegagalan sipil, militer juga akan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan menangkal inflasi yang membumbung, anggaran belanja yang berlebihan, neraca pembayaran yang defisit yang terjadi pada pemerintahan sipil.
Militer bersifat otoriter akan tetapi tidak menghapus partai politik, pergerakan kelompok, surat kabar, dan serikat pekerja secara keseluruhan, akan tetapi membolehkan sebagian dengan batasan atau kontrol yang ketat. Walaupun ciri-ciri ”Pengawal Pretorian” terdapat pada pemerintahan militer Orde Baru, akan tetapi masih berat menyakini militer Indonesia mempunyai rencana untuk menarik diri dari dominasi politik indonesia. Sebab, semakin pudarnya peran politik militer pada orde reformasi lebih dikarenakan desakan masyarakat untuk menghapus konsep dwi fungsi ABRI, ketimbang insiatif militer atas dasar kerelaan.
2. Bandingkan Sistem Ketahanan Nasional dinegara Indonesia dan dinegara negara didunia ?
SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA
Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan
Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategis.
Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan, yaitu :
Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi
b. Kependudukan
c. Sumber kekayaan alam
Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial Budaya
e. Ketahanan keamanan
IDEOLOGI NEGARA LAIN
a. Liberalisme(Individualisme)
Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak semua orang (individu) dalam masyarakat (kontraksosial). Liberalisme bertitik tolak dari hak asasi yang melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk penguasa terkecuali atas persetujuan dari yang bersangkutan. Paham liberalisme mempunyai nilai-nilai dasar (intrinsik) yaitu kebebasan kepentingan pribadi yang menuntut kebebasan individu secara mutlak. Tokoh: Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, Herbert Spencer, Harold J. Laski
b. Komunisme(ClassTheory)
Negara adalah susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain.Golongan borjuis menindas golongan proletar (buruh), oleh karena itu kaum buruh dianjurkan mengadakan revolusi politik untuk merebut kekuasaan negara dari kaum kapitalis & borjuis, dalam upaya merebut kekuasaan / mempertahankannya, komunisme,akan:
1. Menciptakan situasi konflik untuk mengadu golongan-golongan tertentu serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
2. Atheis, agama adalah racun bagi kehidupan masyarakat.
3. Mengkomuniskan dunia, masyarakat tanpa nasionalisme.
4. Menginginkan masyarakat tanpa kelas, hidup aman, tanpa pertentangan, perombakan masyarakat dengan revolusi.
c. PahamAgama
Negara membina kehidupan keagamaan umat dan bersifat spiritual religius. Bersumber pada falsafah keagamaan dalam kitab suci agama. Negara melaksanakan hukum agama dalam kehidupan dunia.
sumber :
http://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/
http://hamzahzakaria.wordpress.com/2012/04/22/ketahanan-nasional-indonesia/
tidak sesuai yang saya cari
BalasHapus